Kisah Pilu di Balik Kematian Ny. AK: Keluarga Pertanyakan Tanggung Jawab Medis RS Jasmine


 

Batam – Kepergian Ny. AK, perempuan muda yang tengah berjuang memulihkan diri pasca-keguguran, menyisakan luka mendalam bagi keluarganya. Ia mengembuskan napas terakhir pada Senin dini hari, 22 Januari 2025, setelah dirawat di Rumah Sakit Jasmine, Batam Centre. Namun, bukan hanya kehilangan yang kini membayangi keluarga—tetapi juga dugaan bahwa kelambanan penanganan medis berperan dalam tragedi tersebut.

Keluarga merasa ada unsur kelalaian serius dalam tindakan medis yang diberikan. Melalui kuasa hukum Adv. Agus Simanjuntak dan Adv. Jemi Prengki, mereka melayangkan laporan ke Dinas Kesehatan Kota Batam serta mengadukan dokter penanggung jawab, dr. Kiko Randitama, Sp.OG, ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mereka menilai, respons rumah sakit saat Ny. AK mengalami penurunan kondisi sangat tidak memadai.

Ny. AK dikabarkan masuk rumah sakit pada Minggu malam dengan kondisi pendarahan aktif. Saat menjelang fajar, kondisinya melemah drastis dan ia mengeluhkan sesak napas. Suaminya yang berada di sisi korban meminta bantuan oksigen, namun perawat tidak berani memberikan tindakan tanpa instruksi langsung dari dokter.

"Ketika hidup seseorang ada di ujung tanduk, menunggu perintah bisa menjadi keputusan yang mematikan," ungkap Adv. Agus dalam konferensi pers.

Kekecewaan keluarga tidak hanya berhenti di ruang perawatan. Surat somasi yang dikirim kepada pihak rumah sakit hanya dibalas dengan pernyataan tertulis, tanpa empati atau kehadiran langsung untuk menjelaskan duduk perkaranya. Laporan ke IDI pun dianggap tidak fair karena dikeluarkan tanpa mendengarkan penjelasan keluarga.

"Bagaimana mungkin investigasi etik dilakukan tanpa melibatkan pihak korban? Suara kami tidak dihitung," ucap Adv. Jemi.

RS Jasmine melalui pernyataan resminya menyebut prosedur sudah dijalankan sesuai standar. Namun, keluarga merasa bahwa terlalu banyak yang tidak dijelaskan secara manusiawi. Mereka berharap tragedi ini menjadi pemicu perubahan, bukan sekadar penyesalan administratif.

Suami almarhumah, dengan nada lirih, berharap tak ada keluarga lain yang mengalami hal serupa. Ia menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan semata untuk mencari kesalahan, tetapi untuk mendorong sistem medis yang lebih responsif dan berempati.

"Prosedur memang penting, tapi nyawa lebih penting. Kemanusiaan tidak boleh dikalahkan oleh aturan kaku," tegasnya.

Peristiwa ini membuka kembali diskusi mendalam tentang kebijakan rumah sakit dalam situasi darurat. Apakah seorang perawat tidak boleh bertindak cepat tanpa menunggu dokter, bahkan ketika nyawa seseorang berada di ambang bahaya? Pertanyaan itu kini menggema, menunggu jawaban dari sistem kesehatan yang diharapkan bisa lebih peduli dan tanggap. (Nursalim Turatea/Yti).

Lebih baru Lebih lama